Setelah hasil ujian nasional (UN) 2011 tingkat SMA sederajat menduduki ranking enam terburuk, hasil UN tingkat SMP sederajat Sumbar lebih mengecewakan lagi. Betapa tidak, hasil UN tingkat SMP sederajat Sumbar menempati posisi empat terburuk. Sebanyak 1.525 dari 82.511 peserta UN di Sumbar dinyatakan tidak lulus.
Hasil itu sesuai pendataan nilai UN SMP sederajat yang dilakukan Panitia Pusat UN 2011. Secara nasional, sebanyak 20.234 siswa dari 3.660.803 peserta UN dinyatakan tidak lulus. Mata pelajaran bahasa Indonesia masih menjadi momok peserta ujian. Sedianya, hasil UN akan diumumkan serentak Sabtu depan (4/6).
Dalam paparannya di Jakarta, kemarin (1/6), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh merinci hasil perhitungan nilai UN SMP dan sederajat. Dia merespons baik hasil tahun ini karena persentase kelulusan siswa mengalami peningkatan. UN SMP dan sederajat tahun ini, diiikuti 3.660.803 siswa dari 45.551 sekolah. Setelah menggabungkan nilai UN dan ujian akhir sekolah (UAS), dengan komposisi 60:40, dinyatakan 20.234 siswa atau 0,55 persen siswa tidak lulus.
Sebagai perbandingan, pada UN 2010 tercatat 350.798 siswa (9,73 persen) dari total peserta 3.254.365 yang tidak lulus UN utama. Saat itu, UN masih diterapkan dengan menggunakan ujian ulangan bagi yang tidak lulus ujian utama. Selanjutnya, Nuh juga mengomentari beberapa provinsi dengan angka ketidaklulusan tinggi berdasarkan nilai UN murni. Yaitu, tidak ditambah dengan nilai UAS. Di antaranya yang disorot adalah provinsi DIY. Di provinsi ini, angka ketidaklulusan jika dihitung hanya dari nilai UN mencapai 25,44 persen dari total peserta 48.662 siswa.
Prestasi buruk DIY dalam aspek kelulusan itu, menempatkan mereka berada di ranking dua setelah Provinsi Bangka Belitung. Di provinsi ini, jumlah siswa yang tidak lulus berdasarkan nilai UN-nya saja mencapai 40,4 persen dengan total peserta 15.341. Sedangkan Sumbar sendiri menduduki ranking keempat paling banyak siswa tak lulus UN murni setelah Bangka Belitung, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
”Semua daerah dengan tingkat kelulusan terendah akan kami evaluasi,” kata Nuh. Selanjutnya, evaluasi tersebut menjadi bahan pertimbangan untuk pemberian bantuan pembenahan kualitas pendidikan. Tahun ini, Kemendiknas mengucurkan bantuan senilai Rp1 miliar kepada seratus kabupaten dan kota dengan angka kelulusan terendah. Penetapan bantuan ini juga mengacu pada tingkat ekonomi setempat.
Selanjutnya, Nuh juga membeber daerah-daerah yang kedapatan muncul angka kelulusan nol persen dalam satu satuan pendidikan atau sekolah. Tapi, kali ini mantan rektor ITS itu tidak menyebutkan nama sekolahan. Ia hanya menyebutkan kabupaten atau kotanya saja. Terdapat 12 sekolah yang kelulusannya nol persen, dengan jumlah total 91 siswa.
Di antaranya adalah di Sumenep dan Bojonegoro masing-masing satu sekolah yang kelulusannya nol persen dengan jumlah total 15 siswa. Selanjutnya, di Kebumen dan Kendal masing-masing juga satu sekolah dengan jumlah total 12 siswa. Dan di Temanggung, terdapat tiga sekolah yang kelulusannya nol persen dengan total siswa 21 anak.
Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendiknas Suyanto mengatakan, muncul beberapa opsi untuk menangani sekolah dengan angka kelulusan nol persen. Di antara yang utama adalah marger. Dia menyebutkan, rata-rata sekolah yang kelulusannya nol persen itu memiliki jumlah siswa yang kecil. Suyanto mengatakan, proses belajar seperti itu tidak efektif. ”Seluruh siswa bisa jadi takut ditunjuk selama belajar berlangsung,” katanya. Marger, dia nilai menjadi solusi terbaik.
Bahasa Indonesia Momok
Di bagian lain, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas Mansyur Ramly menjelaskan, mata pelajaran bahasa Indonesia masih menjadi momok. Pria yang juga menjadi anggota panitia pusat UN 2011 itu menjelaskan, penentuan bahasa Indonesia sebagai pelajaran tersulit bisa dipantau dari hasil UN murni.
Catatan panitia pusat menyebutkan, rata-rata nilai bahasa Indonesia dalam UN tingkat SMP dan sederajat 7,12. Dengan nilai terendah 0,40, atau hanya benar dua butir soal, dan nilai tertinggi 10,00. Sedangkan rata-rata bahasa Inggris 7,52, matematika 7,30, dan IPA 7,41. Mansyur mengatakan, dua tahun terakhir bahasa Indonesia memiliki nilai rata-rata terendah dibanding mata pelajaran lainnya. Pemicunya, siswa belum terbiasa membaca. Dia menjelaskan, hampir seluruh soal bahasa Indonesia diawali dengan bahan bacaan dulu.
Kelemahan kemampuan membaca itu, berpotensi siswa terkecoh saat menentukan pilihan jawaban. ”Pilihan jawaban bahasa Indonesia hampir mirip,” kata Mansyur.
0 komentar:
Posting Komentar